Senin, 06 Januari 2014

aku vs ayahku

Sore ini selepas hujan reda, berjalan menelusuri kelokan gang menuju ujung jalan, kuhirup dalam-dalam aroma kesegaran sehabis hujan, masih berbau basah dan 
Diantara langkah menembus gerismis satu sms masuk memberitahukan kabar dari seorang teman bernada bahagia, “anak gue dah lahir, cowok..” spontan kubalas “ selamat”
Hmmm…jadi inget begitu girangnya aku menyambut sang jabang bayi, tiada yang lebih istimewa kecuali untuknya, tak ada musik seindah tangisannya, tak ada banding perasaan yang tercurah,
Namun Setitik sesal ada menelusup dalam dada, yang memaksa ingatan kembali ke 18 tahun lalu, bahwa ayah-lah sosok yang paling ku benci di dunia ini, bahkan sampai kematian menjemputnya tiada bergeming hati ini untuk membuka maaf untuknya,
Namun hari ini, sebuah pemikiran baru muncul menyadarkan bahwa selama ini yang difikirkan salah total,
Semestinya apapun keadaan masalalu tidak menjadikanku sebagai pribadi yang sangat membenci ayah sendiri, karena sekarang tiap kali aku menimang dan memandang sorot mata kecil itu akulah di posisi yang paling kubenci dulu,
Dulu..
Tak pernah kufikir bahwa aku ingin mati di kelilingi anak-anakku, agar dari mereka ada yang membacakan yasin, ada yang memandikan, mengkafani dan mengantarkanku ke liang lahat, anak biologis yang akan di dengar do’anya meski terputuslah semua perkara dunia, tiap ia menangis dan merajuk tak tega rasa hati ini menolaknya, tiap tangis tidak nyamannya membuatku gusar tidak kepalang kepada si pengganggu, jangankan manusia, setanpun kalo terlihat tak gentar dilawan jika berani mengusik nyamannya sikecil..

Satu pertanyaan yang tak terjawab, dan mungkin tak kan pernah terjawab adalah “ apakah ayahku merasakan yang kurasakan” dimana ia saat aku meronta-ronta karena taring kehidupan mencabik-cabikku? Dimana ia saat keadaan memaksaku menahan lapar? Dimana ayahku saat selepas hujan aku dan adikku kelaparan, dan beras yang terbeli dengan uang pas-pasan jatuh berhamburan ketanah basah? Dimana ia saat semua orang tua temanku berkumpul diacara kenaikan kelas? Dimana ia saat aku berkaca di depan cermin menilik sudah benarkah aku memakai seragam kemejaku? Dimana? Dimana? Dimana?............

O iya… dia sibuk dengan istri-istrinya, ibu tiri yang berkali-kali pernah melukai hati dan diri raga kecilku, ibu tiri yang pernah memaksaku merendahkan harga diri mengais rupiah dengan menengadahkan tangan ke para tetangga, ia hanya sibuk dengan mereka, bahkan saat kutunjukkan buku raport-ku berperingkat satu, ia melemparkannya dan memakiku karena aku mengganggu tidur siangnya, saat aku merajuk memperlihatkan seragam SD kusutku ia malah melemparkan sepatu dengan mata melotot yang menyeramkan.

Itukah sosok ayahku? Yang kemdian mengusir kasar kami tanpa ada bekal, dimana keadaan memaksaku menghentikan cita-citaku demi membantu ibu yang tetap tegar meski di telantarkan,

Kini aku seorang ayah, dan serentetan ketakutan menghampiri ditiap kali aku melihat anakku terlelap, akankah aku adalah ayahku? Atau aku adalah aku yang akan mengukir beda dari perlakuannya?
Akankah aku lebih memilih egoku dan lebih memilih meninggalkannya sendiri dalam kepapa-an yang serba tiada?

Tak sampai hati rasanya melihat ia akan kekurangan, tak tega rasanya melihat ia merentangkan tangan meminta pertolongan,

Buruknya perlakuan ayah pada kami, membuat kami pribadi-pribadi yang serba berbeda, bahkan di satu waktu salah satu do’aku supaya aku dilahirkan kembali dari orang tua yang berbeda,
Bertahun-tahun aku dengan pemikiran itu, dan sudah waktunya aku memaafkan diri sendiri dan memaafkan ayah, mungkin saja suatu waktu dimasa lalu ayah juga pernah menganggapku sebagai berkah, mungkin saja ia juga pernah menghujaniku dengan sayang, namun waktu yang merubahnya menjadi seperti yang kuingat,

Tiada terasa air mata ini jatuh begitu saja,
Sekelebat dilangit menjelang senja terbentuk wajah ayah yang sudah samara kuingat..
Kumaafkan kamu yah…
Dan Tuhan… mohon jangan biarkan like father like son terjadi padaku
Biarkan aku menjadi orang tua yang selayaknya untuk anak-anakku kelak…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar