LANGUAGE AND MIND
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu budaya manusia yang
sangat tinggi nilainya karena dengan bahasa manusia dapat berkomunikasi dan
berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dengan bahasa pula
manusia dimungkinkan dapat berkembang dan mengabstraksikan berbagai gejala yang
muncul disekitarnya. Jelas
bahwa bahasa sangat penting peranannya dalam kehidupan sosial dan boleh
dikatakan manusia berbahasa setiap hari mulai dari bangun tidur sampai tidur
lagi, bahkan
bermimpi pun manusia berbahasa pula. Bahasa tumbuh dan dibutuhkan dalam
segala aspek kehidupan
masyarakat yang meliputi kegiatan bermasyarakat seperti perdagangan,
pemerintahan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya.
Bahasa mampu mentransfer
keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari seseorang kepada orang lain
(Chaer, 2003:38). Menurut
Sudaryanto (1990:21) bahasa pada dasarnya memang merupakan alat atau sarana
untuk komunikasi antarmanusia. Bahasa juga merupakan salah satu ciri yang
membedakan manusia dengan makhluk lain.
Hal itu disebabkan karena manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir dan
kemampuan untuk mengembangkan akal budinya. Dengan kemampuan itu
manusia mengembangkan suatu alat untuk berkomunikasi, guna mengungkapkan pikirannya,
perasaannya, ataupun keinginannya, yaitu
bahasa.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat
atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum,
melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di
dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai dari
upacara pemberian nama bayi yang baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah
tentu saja tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam belajar bahasa tidak
cukup hanya mempelajari pengetahuan tentang bahasa, tetapi lebih dari itu
bagaimana bahasa itu digunakan. Bidang bahasa yang mengkaji bahasa beserta
konteksnya disebut pragmatik. Ketika seseorang berkomunikasi, ia juga harus
melihat situasi dan kondisi saat berbicara, serta unsur-unsur yang terdapat
didalam situasi tutur.
Subyakto (1992:1) mendefinisikan unsur-unsur yang
terdapat dalam tindak tutur dan kaitannya dengan bentuk dan pemilihan ragam
bahasa, antara lain siapa berbicara, dengan siapa berbicara, tentang apa, dengan
jalur apa, dan ragam bahasa yang mana. Bahasa biasa digunakan oleh siapa saja
dan dimana saja, dari situasi formal maupun non formal dan dari tempat menuntut
ilmu sampai tempat mencari nafkah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengantar
Bahasa adalah medium
tanpa batas yang membawa segala sesuatu didalamnya, yaitu segala sesuatu mampu
termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan
memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah
media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual
ditransformasikan ini, maka
manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu
tidak terinderakan saat
proses berpikir itu dilakukan olehnya ( Suriasumantri,1988).
Bahasa merupakan sebuah
struktur yang unik yang hanya dimiliki manusia dan membedakannya dari binatang. Pemilikan
bahasa oleh manusia membuatnya menjadi mahkluk yang dapat berpikir, tanpa
bahasa manusia itu sama saja dengan binatang: tidak dapat berpikir. Bahasa dan
pikiran tidak bisa dipisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang satu
lagi. Pada umumnya para ilmuan berpendapat , bahwa bahasa itu adalah pikiran
dan pikiran itu adalah bahasa.Pikiran dan bahasa adalah satu dan bersifat
nurani: sudah ada di dalam otak begitu manusia dilahirkan (Simanjuntak,2008).
Ernst Cassier
menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan symbol.
Secara generik ungkapan ini lebih
luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, keunikan manusia sebenarnya
bukanlah sekedar terletak pada kemampuannya berbahasa. Seorang filosof
kenamaan, H.G.Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan
apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal,
secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwig Van Wittgeinstein, mengatakan
bahwa batas
dunia manusia adalah bahasa mereka ( Sumaryono, 1993).
Hubungan bahasa dan pikiran membuka
isu-isu yang saling berhubungan yang melibatkan aneka disiplin yang saling
berkaitan. Dalam linguistic, masalah tersebut masuk bidang semantic, pragmatic
dan psikolinguistik. Di luar linguistic kita dapat menarik temuan-temuan
psikologi, neurologi, filsafat, dan sosiologi. (Lihat jaszczolt 2002:38).
Membahas hubungan bahasa dan
pikiran, mari kita mengkonsentrasikan diri pada tiga hal:
- Apakah
manusia menggunakan bahasa untuk berfikir;
- Bila
demikian, apakah berfikir ditentukan oleh bahasa penuturnya;
- Apakah
hubungan antara konsep dengan kata?
Pertama, (a)
berfikir adalah menyusun konsep-konsep, dan kita tahu banyak definisi tentang
konsep, termasuk-untuk menyebut sebagiannya saja – definisi berdasar pendekatan
representasi mental, berdasar bayangan, strereotipe, dan sebagainya, tetapi
juga kelengkapan atau kemampuan bernalar. Konsep merupakan bagian dari
konstituen proposisi atau kemampuan untuk penalaran. Bila orang berfikir bahwa
Presiden Polandia itu orang muda, berarti orang itu menyatakan proposisi sesuai
dengan isi kalimat. Sama seperti halnya bahwa kalimat tersusun dari kata,
proposisi tersusun dari konsep. Proposisi dan konsep adalah unit berfikir.
Tetapi tidak semua konsep berupa kata. Konsep bukanlah ide, ide adalah milik
rakyat, di mana konsep dapat merupakan bagian dari padanya. Konsep adalah tipe
bukan token dan termasuk ke dalam system bahasa. Konsep bisa lahir dari
pengalaman atau merupakan bagiannya yang melekat.
Hubungan berfikir dengan bahasa
menimbulkan perdebatan yang panjang. Dua di antaranya :
(a) Berfikir
tidak bergantung kepada bahasa,
(b) Atau
berfikir mempersyaratkan bahasa, jadi tidak ada pikiran tanpa bahasa. Kalau
bahasa penting untuk berfikir, maka apakah binatang bisa berfikir. Apakah
computer menggunakan bahasa? Atau barangkali ada ‘bahasa berfikir’ yang
memiliki system sendiri yang berlainan dengan bahasa alamiah.
Hipotesis
hubungan bahasa dengan berfikir
Hipotesis hubungan bahasa dengan
berfikir ditolak oleh sebagian linguis dan peneliti. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa :
(i)
Orang bisa berfikir
tanpa bahasa,
(ii)
Anak-anak yang belum
bisa berbahasa sering dapat melakukan perintah bahasa tertentu “Ambil mainan
itu!”. Mereka bisa melakukannya dengan benar
(iii)
Sekalipun binatang
tidak memiliki kehidupan mental yang canggih, namun dapat mengekspresikan
semacam proses mental. Lebah, misalnya, mempunyai cara berkomunikasi dengan
menari-nari memberitahukan kelompoknya tentang adanya sumber makanan. Makin
dekat sumber makanan, makin cepat menarinya. (Lihat Jaszcxold:39). Karl Von
Fiesrch penulis buku The Dancing Bees (1954) mendemonstrasikan eksperimennya
dengan sangat menarik bahwa benar-benar ada pesan dari tarian lebah itu.
Ditempatkannya sarang lebah di sisi bukit dan makanan di sisi lain. Lebah
menari-nari tanpa petunjuk dari arah mana mereka diterbangkan. Lalu mereka
bekerja diarah itu, yang memberikan saran bahwa system syarat mereka membangun
suatu representasi dunia nyata: mereka mempunyai pesan yang hendak disampaikan
(Lihat Johnson Larid 1990).
Sementara itu,
Petrick Beteson (1990:52) melaporkan bahwa burung Beo Abu-abu Afrika dalam
menirukan suara manusia bukan tanpa pikiran, bukan seperti alat perekam saja.
Ukuran otakny secara relative berbaning badannya termasuk sepsis tingkat
pertama, dan burung itu dapat dilatih oleh manusia untuk merespon suara
bermakna, terhadap pernyataan yang ditujukan kepadanya. Rene Pepplerserg
melatih seekor Beo bernama Alex untuk merespon pertanyaannya tentang gambar
geometrid an ditanya ‘Apa bedanya?’ atau apakah sama? Alex menjawab dengan
‘tidak ada’. Selain itu juga menjawab tentang ‘warna’,’bentuk’ atau ‘barang’.
Bahkan burung itu bisa berkomunikasi lebih dari itu.
Pada suatu ketika Alex bertingkah
dan tidak mau kerjasama setelah tes dilakukan lebih lama dan tidak mau lagi
kerjasama. Beberapa lama kemudian, setelah hari yang melelahkan berlangsung,
perekam suara mencata suara Beo ‘saya akan pergi’. Lalu berterbangan dan
akhirnya meletakkan kepalanya di sudut sangkar. Tingkahnya tidak jauh berbeda
dari bahasa manusia dengan sangat ekspresif, mengandung banyak kekuatan makna.
Namun demikian sebagian besar bahkan lebih besar dari apa yang dapat diberikan
dari seekor burung. Kesimpulannya bahwa beberapa kapasitas kognitif yang
diperlukan bahasa berkembang telah berkembang sebelum makhluk manusia. Itu
merupakan kondisi yang penting bagi sebagian besar dalam komunikasi yang
mengambil bagian dalam kehidupan manusia, walaupun belum cukup. Demikian
komentar Bateson (1990:52).
2. Hipotesis Hubungan
Bahasa dan Berfikir
a.
Anggapan Bahasa Mempengaruhi Pikiran
1.
Wilhelm von
HumboldtBeliau merupakan pakar dari Jerman
yang terkenal pada abad 19. Menurutnya, pemikiran
manusia tergantung pada bahasa. Hal itu dikarenakan suatu pandangan dunia,
hidup pada suatu masyarakat bahasa. Suatu masyarakat hidup pada ketentuan
bahasa masyarakatnya itu sendiri dan tidak dapat menyimpang lagi dari garis
yang ditentukan oleh bahasanya. Bila masyarakat mengubah pandangan hidupnya,
berarti harus mempelajari bahasa yang baru. Dengan demikian menganut cara
berpikir masyarakat bahasa yang baru.
Bahasa memiliki dua substansi yaitu bunyi dan pikiran.
Bahasa merupakan satu sintesis bunyi dengan pikiran. Bunyi-bunyi bahasa
merupakan bentuk luaran, sedangkan pikiran merupakan bentuk dalaman. Keduanya
membentuk suatu sintesis pada diri masyarakat bahasa. Pada mulanya memang
manusia memakai pikirannya untuk mengkategori dunia dan mencantumkan dalam
bahasa, tetapi begitu bahasa terbentuk, manusia menjadi terikat oleh hal yang
mereka ciptakan sendiri. Contoh: semula orang Jawa memakai pikiran untuk
mencipta kata pari, gabah, beras, upa, dan sega, dan sebagainya.
Akan tetapi, begitu sudah tercipta justru sebaliknya, orang untuk berkata,
lebih melihat pada lima entitas itu.
2.
Edward Sapir dan
Benjamin Lee Worf, Keduanya merupakan pakar di Amerika yang terkenal pada abad
ke-20. Sapir menyatakan bahwa dunia masyarakat bahasa dibangun di atas
perilaku-perilaku bahasa masyarakat itu sendiri. Jadi, pandangan hidup suatu
masyarakat bahasa ditentukan oleh struktur bahasanya.
Teori
Sapir dilanjutkan oleh Worf. Menurut Worf, setiap bahasa memberikan suatu
pandangan dunia pada penuturnya. Manusia membagi-bagi alam, menyusunnya menjadi
konsep-konsep, dan menilai kepentingannya dengan cara yang sebagian besar
disebabkan karena manusia telah bersepakat untuk menyusun alam itu demikian;
suatu kesepakatan yang berlaku bagi masyarakat bahasa dan yang telah dibukukan
atau termaktub dalam pola-pola bahasa. Sistem linguistik setiap bahasa tidak
hanya menyuarakan ide, tetapi malah merupakan pembentuk ide, merupakan program
untuk melihat kegiatan mental seseorang, penentu analisis kesan, dan sintesis
struktur mental seseorang. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran.
Bahasa yang
sama ada kecenderungan dianggap atau mewakili masyarakat yang sama. Contohnya:
pandangan hidup bangsa Indonesia, Malaysia, Philipina, Brunei, dan beberapa
bangsa Pasifik ada kecenderungan memiliki kesamaan karena dilihat dari
bahasanya. Kesamaan tersebut memberitahukan bahwa pada dasarnya pola yang
dipakai bahasa berpengaruh pada pola piker masyarakat penggunanya. Teori Edward
Sapir dan Benjamin Lee Worf ini dikenal dengan nama teori relativitas bahasa.
2. Anggapan
Pikiran Mempengaruhi Bahasa
a.
Jean Piaget,
merupakan pakar yang berasal dari Perancis. Menurutnya, pikiranlah yang
membentuk bahasa. Tanpa pikiran, bahasa tidak ada. Pikiranlah yang menentukan
aspek-aspek sintaktis dan leksikon bahasa, bukan sebaliknya. Bahasa merupakan
satu sistem kode yang sudah siap untuk digunakan yang diperluas dan dilengkapi
oleh masyarakat penggunanya. Bahasa mengandung sejumlah kekayaan alat kognisi
yang selalu siap digunakan.
Dalam
pemerolehan bahasa, seorang anak dapat menggolongkan sekumpulan benda dengan
memakai kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut. Hal ini berarti
kognisinya dapat ditentukan. Jadi, perkembangan kognisinya mempengaruhi
perkembangan bahasanya.
b.
Carrol
Carrol
menentang pendapat Sapir dan Worf yang menyatakan bahwa bahasa menentukan
pandangan hidup masyarakat bahasanya. Tidaklah benar bila dinyatakan satu
pandangan hidup mengambarkan satu bahasa tertentu. Pandangan hidup yang sama
timbul karena faktor-faktor sosial dan sejarah. Jadi, tidak memiliki hubungan
dengan bahasa. Menurutnya, sebuah isyarat bahasa harus merupakan persetujuan
pemikiran masyarakat pemakainya.
c.
Brown dan Lenneberg
Mereka
juga tidak menyetujui pendapat Sapir dan Worf. Menurut mereka, manusia secara
keseluruhan memiliki potensi bersama untuk mengadakan pembedaan penginderaan
(pandangan). Masyarakat bahasa berbeda bukan karena kemampuan atau potensi
berbahasa, melainkan karena cara mereka menggolongkan pengalaman-pengalaman mereka.
d.
J.S. Bruner
J.S.
Bruner terkenal dengan teori instrumentalisme yaitu bahasa merupakan alat
pemikiran manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikiran itu. Jadi,
bahasa membantu pemikiran manusia agar lebih sistematis.
3. Bahasa
dan Pikiran Terpisah, tetapi Berhubungan
a. L.S. Vygotsky
L.S. Vygotsky merupakan sarjana dari Rusia. Dia
menyatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap awal merupakan sesuatu yang
terpisah dan tidak saling mempengaruhi, tetapi pada tahap berikutnya keduanya
berhubungan yaitu bekerja sama dan saling mempengaruhi. Untuk mengkaji bahasa
dan pikiran harus melihat aspek luar yaitu aspek bunyi, juga aspek dalam yaitu
makna. Baginya, hubungan pikiran dengan bahasa bukan suatu benda tetapi suatu
proses, satu gerak yang terus-menerus yang ada pada pikiran ke bahasa dan
sebaliknya dari bahasa ke pikiran.
b. Noam Chomsky
Noam Chomsky merupakan pakar Amerika. Ia tidak secara
langsung mengemukakan hubungan bahasa dengan pikiran. Ia menyatakan bahwa
pandangan tentang bahasa membuka pandangan juga tentang proses mental
(pemikiran) manusia.
Seorang anak terlahir sudah memiliki piranti berbahasa.
Piranti ini tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seperti yang dinyatakan
Lenneberg karena anak yang tolol pun dapat berbahasa. Bahasa dan pikiran
merupakan dua sistem yang berasingan atau yang otonom. Bahasa tidak dipelajari
anak dan tidak diajarkan, tetapi berkembang dan tumbuh pada diri anak dengan
cara yang lebih dahulu ditentukan oleh alam apabila keadaan lingkungan
mendukung. Lebih jauh dinyatakan bahwa sistem keuniversalan bahasalah yang
menggambarkan keunikan kecerdasan manusia. Bahasa hanya memiliki tingkat luaran
yang berbeda, tetapi tingkat dalamannya sama. Keduanya bekerja sama untuk
digunakan dalam komunikasi.
3. Relativitas Bahasa
Relativitas
bahasa (Linguistic relativity) merupakan konsep hipotesa bahasa yang
dikemukakan oleh Benjamin Lee Whorf (1956) yang mengatakan “ A person’s native
language defines the way he perceives and interprets his world”. Hipotesa ini
mengemukakan adanya kemungkinan –kemungkinan pengaruh bahasa ibu
menginterprestasikan budaya orang lain khususnya dalamnorma –norma budaya,
kepercayaan dan nilai –nilai.Dengan kata lain dalam suatu budaya, bahasa itu
berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan bagaimana masyarakat pada budaya
tertentu merasa (perceive) dan memahami (understand) dunia sekitarnya dan dunia
luar. Sedangkan relativitas budaya (culture relativity) merupakan sebuah konsep
budaya –budaya orang lain diperlukan juga penilaian yang lebih luas tentang
budaya kita sendiri.
Dari
pernyataan diatas dapat dilihat adanya hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi antara bahasa dan budaya.Kajian tentang lintas budaya (cross
culture) seperti ini dibutuhkan untuk menemukan adanya kesemestaan budaya dan
kesemestaan bahasa (culture universals) dan (language universals) yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain.Anthropolog George Peter Murdock (1945)
mengidentifikasikan lebih dari enam puluh (60) kesemestaan budaya yang
meliputi:
1.Perkawinan
2.Perhiasan
–perhiasan tubuh
3.Tari
–tarian
4.Mitos
5.Legenda
6.Masakan
7.Kata
–kata kotor
8.Peraturan
–peraturan harta warisan
9.Upacara
keagamaan
10.Adat
istiadat
11.Sistem
sapaan
12.Sistem
keakraban dan lain –lain
Adanya
pepatah bahasa Melayu yang berbunyi “bahasa menunjukkan bangsa”. Maksudnya
antara lain ialah bahwa ada kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu
sering mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa, atau tingginya martabat
seseorang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa
itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan sesuatu
bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis, kiranya tak dapat
dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi perbendaharaan kata dan
idion jelas mencerminkan ide dan pengalaman -pengalaman yang pernah dan sering
dihayati oleh suatu bangsa. Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa
sehubungan dengan sikap –sikapnya terhadap berbagai peristiwa dan situasi
bicara. Dialek mencerminkan kelompok –kelompok masyarakat yang membentuk bangsa
itu. Tingkat tutur mencerminkan adat sopan santun sehubungan dengan berbagai
status sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakat, sehingga dalam makalah ini
dapat dilihat hubungan timbale balik antara relativitas bahasa dan relativitas
budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain.Relativitas bahasa adalah topic
tua yang tetap menarik. Hampir seabad yang lalu, Sapir (1921) membahas kaitan
tak langsung antara bahasa dan budaya , serta kekhasan struktur bahasa yang
sangat menentukan bentuk sastra, terutama puisi. Era Bloomfieldian di Amerika
juga dipengaruhi oleh relativitas bahasa, seperti dinyatakan oleh Joos (1957
–1996)”Language could differ from each other without limit and in unpredictable
ways”.Relativitas bahasa yang merupakan postulat dalam linguistic murni,
mendorong lainnya analisist Kontrastif terapaan kerya pembukaan yang dipelopori
oleh Fries 1945) dan lando (L1957).Sejak pertengahan dasa warsa 1960an, ketika
posisi generative menjadi semakin dominan, relativitas bahasa terpinggirkan
diriku oleh (Universalitas kesemestaan)bahasa. “ Chomsky (1965), bukan
hanyamenawarkan substantive universals, tetapi juga formal universal yang
pertama merujuk pada unit bahasa yang berikan universal, misalnya kaidah
informasi dan prinsip ketergantungan struktur (struktur –dependent –principle).
Kemudian, bersamaan dengan timbulnya ambisi untuk menjelaskan hakekat universal
jauh. Mereka Sambisi universal semakin jauh. Mereka asyik dengan I;Language
(bahsa sebagai relitas mudah), sehingga mengabaikan E –Language (bahasa sebagai
realyijas social. Dalam paradigm chomskyan. Universalitas (kesemestaan) bahasa
dibatasi oleh pustulaus “Language is mirrow of the mind”.
4. Hipotesis tentang Bahasa dan Pikiran
Hipotesis tentang Linguistic relativity ditolak oleh banyak linguistikawan dan peneliti dalam pengetahuan kognitif. Respon yang sangat khas adalah untuk member ketegaasan tentang kesalahan dalam menghadapi identifikasi pikiran dan bahasa.Dua argument
yang penting yang dapat mendukung penolakan tersebut :
1. Ada
bukti bahwa
orang bisa berfikir tanpa bahasa
2. Analistis
linguistic memperlihatkan kepada kita bahwa bahasa punya kekurangan dalam melakukan spesifikasi makna
4.5. Bukti Berfikir tanpa Bahasa
Contoh yang diberikan oleh Pinker (1995),
seperti dikutip oleh Saeed (2003:43) sebagai berikut :
i.
Para seniman dan ilmuwan menyatakan bahwa kadangkala karyanya muncul dari ide dari bayangan nonlinguistic
ii.
Anak balita yang belum mengenal bahasa dapat melaksanakan perintah bahasa seperti “ambil mainan itu!”.
5. Keterbatasan Bahasa melakukan Spesifikasi
Orang dapat mengatakan hal-hal yang belum pernah dikatakan sebelumnya. Hal
ini dikarenakan kemampuannya untuk mengerti dan membentuk kalimat yang tidak
terbatas jumlahnya. Pada dasarnya setiap kita mengucapkan pasti pernah sama
atau berbeda. Contohnya, dengan menguasai angka 0 s.d. 9 orang dapat
membuat berbagai jenis penghitungan atau dalam berbahasa Indonesia, dengan
menguasai /a/ s.d. /z/ ditambah /ng/, /ny/, /kh/, dan /sy/, seseorang
dapat membuat berbagai kalimat.
Kreativitas binatang hanya tertentu tetapi manusia dapat mewujudkan
berbagai hal dengan bahasa. Contohnya, lebah hanya berdasarkan sifat ekstern,
yaitu tarian. Seekor lebah hanya mengadakan tarian maupun kualitas tarian
sebagai produk dari arah, jarak, dan kuantitas madu. Hal ini tentu berbeda
dengan manusia. Manusia berhubungan dengan intern dan ekstern. Contohnya,
manusia yang lapar (intern) belum tentu secara ekstern ia langsung menyatakan
bahwa saya lapar, mungkin hanya diam. Manusia dapat bebas memilih
harus berbicara atau tidak, dan dapat memutuskan apa yang akan dikatakan bila
memutuskan untuk berbicara.
Tidak semua hal dapat diekspresikan melalui bahasa. Karena pada dasarnya
bahasa tidak dapat menggambarkan sesuatu hal secara eksak, melainkan bersifat
parsial. Biasanya keterbatasan sangat terasa pengaruhnya ketika kita
membicarakan hal-hal yang bersifat relatif dimana setiap orang bisa memiliki
persepsi yang berbeda mengenai hal tersebut. Atau dengan kata lain, tidak ada
kata-kata yang tepat yang bisa menggambarkan suatu hal dan berlaku untuk semua
orang. Misalnya, sifat cantik, pintar, kaya, miskin, dan lain sebagainya.
Saat kita mengatakan kata cantik untuk menggambarkan seseorang di benak
kita, belum tentu orang lain memiliki gambaran kata cantik yang sama dengan apa
yang kita pikirkan. Sama halnya dengan pintar, tidak ada kata yang bisa
mengukur seberapa pintarnya seseorang. Inilah salah satu keterbatasan bahasa
dalam konteks komunikasi verbal yang menyebabkan transfer ide dari satu pihak
ke pihak lain tidak utuh.
Dalam penggunaan bahasa muncul sebuah bahasa Toki Pona yang hanya mempunyai
123 kata dalam kosakatanya, dalam bahasa ini penggunanya diharuskan
membicarakan sesuatu yang sifatnya spesifik dengan frasa, bahasa ini gabungan
dari beberapa bahasa.
Dalam berbahasa maka membentuk behaviour, thought, dan perception, dimana
masing-masing saling mengikat dan membentuk sebuah budaya.
Bahasa di katakan membentuk behaviour karena dengan bahasa manusia
menyifatinya dengan sifat general, sebagai contoh orang yang menggunakan bahasa
inggris saat menolak ajakan makan siang maka cukup dikatakan “TIDAK”, tetapi
orang yang menggunakan bahasa Indonesia cenderung membuat alasan semisal “aduh
saya harus mengerjakan ini atau itu”.
Bahasa dikatakan membentuk thought contohnya saat ada gambar yang muncul
yang merupakan sebuah proses dari pohon, maka orang yang menggunakan alfabet
akan memulai proses dari kiri ke kanan, berbeda dengan orang-orang yang
terbiasa menggunakan huruf-huruf hijaiyah atau huruf arab maka meraka akan
melihat proses tersebut dari kanan ke kiri.
Bahasa dikatakan membentuk perception diantaranya : saat kita mengatakan
matahari dan bulan dengan bahasa German dan Spanish, maka orang yang berbahasa German
cenderung memberikan persepsi maskulin untuk matahari dna feminin untuk Bulan.
Tetapi dalam bahasa Spanyol, Matahari di katakan dalam bentuk feminin dan bulan
dalam bentuk maskulin, sehingga jika kita mengatakan sebuah kata benda kepada
orang German dan Spanish maka akan ada perbedaan persepsi yang muncul.
Ada bahasa yang tidak bisa mengekspresikan kanan dan kiri, yaitu bahasa
orang “Kuuk tha yorre” orang-orang aboriginal Australia, dimana “arah” dan
segala yang berhubungan dengan nya di katakan dengan, North, east, south, west
dan penggabungannya.
Berdasarkan pemaparan diatas maka terdapat keterbatasan dalam masing-masing
bahasa saat mengatakan yang spesifik sehingga bahasa dapat dinyatakan sebagai
sesuatu yang hidup dan terus berkembang membentuk kebudayaan untuk mengisi
kekosongan spesifik yang di perlukan.
6. Bahasa berfikir
Kata-kata adalah
bentuk pemberian pakaian pada realita factual yang terjadi secara
nyata.Pemberian inidipengaruhi oleh factor subjektifitas kebudayaan dan
individu. Subjektifitas ini terlihat ketika manusia darilatar belakang yang
berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia
realitas dan mengklasifikasikan kedalam kategori yang samasekali lagi berbeda
berdasarkan prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris,
misalnya table ( meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam
pikiran orangInggris menyatakan bahwa kedua benda tersebutesensinya merupakan
satu dan sama karena melayani fungsi yang sama.
Orang non
Indo-Eropa tidaklah memotong realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada
bentuk dasarnya : bundar, persegi, padat,atau cair. Bagi orang non
Indo-Eropa kriteria tentang bentukdan rupa adalah pasti, dalam menentukan
apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori iniatau kategori lain. Di mata
masyarakat ini, meja bundar dan meja persegi adalah dua benda yang sama sekali
berbeda sehingga harus ditunjukkan dengan nama yang berbeda pula.
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa
dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal).
Variable berupa domain-domainkognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu
perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian,
ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin atau tidak
tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa
individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics
di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Misalnya ada temuan hubungan
yang signifikan antara kemampuan mengklasifikasikan ( classificatory ability)
dan pemahaman makna kata ( word meaning) pada individu yang memiliki gangguan
bahasa atau individu yang menderita skizofren.Wacana yang dilontarkan oleh
Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut.
Beberapa
pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada
pandangan yang menentangnya. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan
antara lain:
1. Determinasi bahasa dapat
dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensidalam menalar
daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2. Proses satu arah tersebut
dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang
digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga
sebaliknya.
3. Studi komparasi antar bahasa
yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk
mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa
utama sebuah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht,K
.1986. Brain Power. London Willey
& Sons
Forrester, M.A., 1996. Psycology of Language: A Critical Introduction. London: Sage
Publicatio
Gleitman,L&Papafragou, A.2000. Language and thought. To appear in
K.Holoyoak and B. Morisson (eds), Cambridge Handbook of Thinking and
Reasoning.Cambridge University.
Jaszczolt,K.2000.
Language and Thought. www.cam.ac.uk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar