Selasa, 03 September 2019

Language and Mind

LANGUAGE AND MIND



BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan salah satu budaya manusia yang sangat tinggi nilainya karena dengan bahasa manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dengan bahasa pula manusia dimungkinkan dapat berkembang dan mengabstraksikan berbagai gejala yang muncul disekitarnya. Jelas bahwa bahasa sangat penting peranannya dalam kehidupan sosial dan boleh dikatakan manusia berbahasa setiap hari mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan bermimpi pun manusia berbahasa pula. Bahasa tumbuh dan dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang meliputi kegiatan bermasyarakat seperti perdagangan, pemerintahan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya.
Bahasa mampu mentransfer keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari seseorang kepada orang lain (Chaer, 2003:38). Menurut Sudaryanto (1990:21) bahasa pada dasarnya memang merupakan alat atau sarana untuk komunikasi antarmanusia. Bahasa juga merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Hal itu disebabkan karena manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir dan kemampuan untuk mengembangkan akal budinya. Dengan kemampuan itu manusia mengembangkan suatu alat untuk berkomunikasi, guna mengungkapkan pikirannya, perasaannya, ataupun keinginannya, yaitu bahasa.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai dari upacara pemberian nama bayi yang baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah tentu saja tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam belajar bahasa tidak cukup hanya mempelajari pengetahuan tentang bahasa, tetapi lebih dari itu bagaimana bahasa itu digunakan. Bidang bahasa yang mengkaji bahasa beserta konteksnya disebut pragmatik. Ketika seseorang berkomunikasi, ia juga harus melihat situasi dan kondisi saat berbicara, serta unsur-unsur yang terdapat didalam situasi tutur.
Subyakto (1992:1) mendefinisikan unsur-unsur yang terdapat dalam tindak tutur dan kaitannya dengan bentuk dan pemilihan ragam bahasa, antara lain siapa berbicara, dengan siapa berbicara, tentang apa, dengan jalur apa, dan ragam bahasa yang mana. Bahasa biasa digunakan oleh siapa saja dan dimana saja, dari situasi formal maupun non formal dan dari tempat menuntut ilmu sampai tempat mencari nafkah.












BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengantar
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu didalamnya, yaitu segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan ini, maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya ( Suriasumantri,1988).
Bahasa merupakan sebuah struktur yang unik yang hanya dimiliki manusia dan membedakannya dari binatang. Pemilikan bahasa oleh manusia membuatnya menjadi mahkluk yang dapat berpikir, tanpa bahasa manusia itu sama saja dengan binatang: tidak dapat berpikir. Bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang satu lagi. Pada umumnya para ilmuan berpendapat , bahwa bahasa itu adalah pikiran dan pikiran itu adalah bahasa.Pikiran dan bahasa adalah satu dan bersifat nurani: sudah ada di dalam otak begitu manusia dilahirkan (Simanjuntak,2008).
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan symbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuannya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, H.G.Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwig Van Wittgeinstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka ( Sumaryono, 1993).
            Hubungan bahasa dan pikiran membuka isu-isu yang saling berhubungan yang melibatkan aneka disiplin yang saling berkaitan. Dalam linguistic, masalah tersebut masuk bidang semantic, pragmatic dan psikolinguistik. Di luar linguistic kita dapat menarik temuan-temuan psikologi, neurologi, filsafat, dan sosiologi. (Lihat jaszczolt 2002:38).
            Membahas hubungan bahasa dan pikiran, mari kita mengkonsentrasikan diri pada tiga hal:
  1. Apakah manusia menggunakan bahasa untuk berfikir;
  2. Bila demikian, apakah berfikir ditentukan oleh bahasa penuturnya;
  3. Apakah hubungan antara konsep dengan kata?
Pertama, (a) berfikir adalah menyusun konsep-konsep, dan kita tahu banyak definisi tentang konsep, termasuk-untuk menyebut sebagiannya saja – definisi berdasar pendekatan representasi mental, berdasar bayangan, strereotipe, dan sebagainya, tetapi juga kelengkapan atau kemampuan bernalar. Konsep merupakan bagian dari konstituen proposisi atau kemampuan untuk penalaran. Bila orang berfikir bahwa Presiden Polandia itu orang muda, berarti orang itu menyatakan proposisi sesuai dengan isi kalimat. Sama seperti halnya bahwa kalimat tersusun dari kata, proposisi tersusun dari konsep. Proposisi dan konsep adalah unit berfikir. Tetapi tidak semua konsep berupa kata. Konsep bukanlah ide, ide adalah milik rakyat, di mana konsep dapat merupakan bagian dari padanya. Konsep adalah tipe bukan token dan termasuk ke dalam system bahasa. Konsep bisa lahir dari pengalaman atau merupakan bagiannya yang melekat.
            Hubungan berfikir dengan bahasa menimbulkan perdebatan yang panjang. Dua di antaranya :
(a)    Berfikir tidak bergantung kepada bahasa,
(b)   Atau berfikir mempersyaratkan bahasa, jadi tidak ada pikiran tanpa bahasa. Kalau bahasa penting untuk berfikir, maka apakah binatang bisa berfikir. Apakah computer menggunakan bahasa? Atau barangkali ada ‘bahasa berfikir’ yang memiliki system sendiri yang berlainan dengan bahasa alamiah.
Hipotesis hubungan bahasa dengan berfikir
            Hipotesis hubungan bahasa dengan berfikir ditolak oleh sebagian linguis dan peneliti. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa :
(i)                 Orang bisa berfikir tanpa bahasa,
(ii)               Anak-anak yang belum bisa berbahasa sering dapat melakukan perintah bahasa tertentu “Ambil mainan itu!”. Mereka bisa melakukannya dengan benar
(iii)             Sekalipun binatang tidak memiliki kehidupan mental yang canggih, namun dapat mengekspresikan semacam proses mental. Lebah, misalnya, mempunyai cara berkomunikasi dengan menari-nari memberitahukan kelompoknya tentang adanya sumber makanan. Makin dekat sumber makanan, makin cepat menarinya. (Lihat Jaszcxold:39). Karl Von Fiesrch penulis buku The Dancing Bees (1954) mendemonstrasikan eksperimennya dengan sangat menarik bahwa benar-benar ada pesan dari tarian lebah itu. Ditempatkannya sarang lebah di sisi bukit dan makanan di sisi lain. Lebah menari-nari tanpa petunjuk dari arah mana mereka diterbangkan. Lalu mereka bekerja diarah itu, yang memberikan saran bahwa system syarat mereka membangun suatu representasi dunia nyata: mereka mempunyai pesan yang hendak disampaikan (Lihat Johnson Larid 1990).
Sementara itu, Petrick Beteson (1990:52) melaporkan bahwa burung Beo Abu-abu Afrika dalam menirukan suara manusia bukan tanpa pikiran, bukan seperti alat perekam saja. Ukuran otakny secara relative berbaning badannya termasuk sepsis tingkat pertama, dan burung itu dapat dilatih oleh manusia untuk merespon suara bermakna, terhadap pernyataan yang ditujukan kepadanya. Rene Pepplerserg melatih seekor Beo bernama Alex untuk merespon pertanyaannya tentang gambar geometrid an ditanya ‘Apa bedanya?’ atau apakah sama? Alex menjawab dengan ‘tidak ada’. Selain itu juga menjawab tentang ‘warna’,’bentuk’ atau ‘barang’. Bahkan burung itu bisa berkomunikasi lebih dari itu.
            Pada suatu ketika Alex bertingkah dan tidak mau kerjasama setelah tes dilakukan lebih lama dan tidak mau lagi kerjasama. Beberapa lama kemudian, setelah hari yang melelahkan berlangsung, perekam suara mencata suara Beo ‘saya akan pergi’. Lalu berterbangan dan akhirnya meletakkan kepalanya di sudut sangkar. Tingkahnya tidak jauh berbeda dari bahasa manusia dengan sangat ekspresif, mengandung banyak kekuatan makna. Namun demikian sebagian besar bahkan lebih besar dari apa yang dapat diberikan dari seekor burung. Kesimpulannya bahwa beberapa kapasitas kognitif yang diperlukan bahasa berkembang telah berkembang sebelum makhluk manusia. Itu merupakan kondisi yang penting bagi sebagian besar dalam komunikasi yang mengambil bagian dalam kehidupan manusia, walaupun belum cukup. Demikian komentar Bateson (1990:52).

2. Hipotesis Hubungan  Bahasa dan Berfikir
a.       Anggapan Bahasa Mempengaruhi  Pikiran
1.      Wilhelm von HumboldtBeliau  merupakan  pakar  dari  Jerman  yang  terkenal  pada  abad 19. Menurutnya, pemikiran manusia tergantung pada bahasa. Hal itu dikarenakan suatu pandangan dunia, hidup pada suatu masyarakat bahasa. Suatu masyarakat hidup pada ketentuan bahasa masyarakatnya itu sendiri dan tidak dapat menyimpang lagi dari garis yang ditentukan oleh bahasanya. Bila masyarakat mengubah pandangan hidupnya, berarti harus mempelajari bahasa yang baru. Dengan demikian menganut cara berpikir masyarakat bahasa yang baru.
Bahasa memiliki dua substansi yaitu bunyi dan pikiran. Bahasa merupakan satu sintesis bunyi dengan pikiran. Bunyi-bunyi bahasa merupakan bentuk luaran, sedangkan pikiran merupakan bentuk dalaman. Keduanya membentuk suatu sintesis pada diri masyarakat bahasa. Pada mulanya memang manusia memakai pikirannya untuk mengkategori dunia dan mencantumkan dalam bahasa, tetapi begitu bahasa terbentuk, manusia menjadi terikat oleh hal yang mereka ciptakan sendiri. Contoh: semula orang Jawa memakai pikiran untuk mencipta kata pari, gabah, beras, upa, dan sega, dan sebagainya. Akan tetapi, begitu sudah tercipta justru sebaliknya, orang untuk berkata, lebih melihat pada lima entitas itu.
2.      Edward Sapir dan Benjamin Lee Worf, Keduanya merupakan pakar di Amerika yang terkenal pada abad ke-20. Sapir menyatakan bahwa dunia masyarakat bahasa dibangun di atas perilaku-perilaku bahasa masyarakat itu sendiri. Jadi, pandangan hidup suatu masyarakat bahasa ditentukan oleh struktur bahasanya.
Teori Sapir dilanjutkan oleh Worf. Menurut Worf, setiap bahasa memberikan suatu pandangan dunia pada penuturnya. Manusia membagi-bagi alam, menyusunnya menjadi konsep-konsep, dan menilai kepentingannya dengan cara yang sebagian besar disebabkan karena manusia telah bersepakat untuk menyusun alam itu demikian; suatu kesepakatan yang berlaku bagi masyarakat bahasa dan yang telah dibukukan atau termaktub dalam pola-pola bahasa. Sistem linguistik setiap bahasa tidak hanya menyuarakan ide, tetapi malah merupakan pembentuk ide, merupakan program untuk melihat kegiatan mental seseorang, penentu analisis kesan, dan sintesis struktur mental seseorang. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran.
Bahasa yang sama ada kecenderungan dianggap atau mewakili masyarakat yang sama. Contohnya: pandangan hidup bangsa Indonesia, Malaysia, Philipina, Brunei, dan beberapa bangsa Pasifik ada kecenderungan memiliki kesamaan karena dilihat dari bahasanya. Kesamaan tersebut memberitahukan bahwa pada dasarnya pola yang dipakai bahasa berpengaruh pada pola piker masyarakat penggunanya. Teori Edward Sapir dan Benjamin Lee Worf ini dikenal dengan nama teori relativitas bahasa.
2. Anggapan Pikiran Mempengaruhi Bahasa
a.       Jean Piaget, merupakan pakar yang berasal dari Perancis. Menurutnya, pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran, bahasa tidak ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaktis dan leksikon bahasa, bukan sebaliknya. Bahasa merupakan satu sistem kode yang sudah siap untuk digunakan yang diperluas dan dilengkapi oleh masyarakat penggunanya. Bahasa mengandung sejumlah kekayaan alat kognisi yang selalu siap digunakan.
Dalam pemerolehan bahasa, seorang anak dapat menggolongkan sekumpulan benda dengan memakai kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut. Hal ini berarti kognisinya dapat ditentukan. Jadi, perkembangan kognisinya mempengaruhi perkembangan bahasanya.
b.      Carrol
Carrol menentang pendapat Sapir dan Worf yang menyatakan bahwa bahasa menentukan pandangan hidup masyarakat bahasanya. Tidaklah benar bila dinyatakan satu pandangan hidup mengambarkan satu bahasa tertentu. Pandangan hidup yang sama timbul karena faktor-faktor sosial dan sejarah. Jadi, tidak memiliki hubungan dengan bahasa. Menurutnya, sebuah isyarat bahasa harus merupakan persetujuan pemikiran masyarakat pemakainya.
c.       Brown dan Lenneberg
Mereka juga tidak menyetujui pendapat Sapir dan Worf. Menurut mereka, manusia secara keseluruhan memiliki potensi bersama untuk mengadakan pembedaan penginderaan (pandangan). Masyarakat bahasa berbeda bukan karena kemampuan atau potensi berbahasa, melainkan karena cara mereka menggolongkan pengalaman-pengalaman mereka.
d.      J.S. Bruner
J.S. Bruner terkenal dengan teori instrumentalisme yaitu bahasa merupakan alat pemikiran manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikiran itu. Jadi, bahasa membantu pemikiran manusia agar lebih sistematis.

3. Bahasa dan Pikiran Terpisah, tetapi Berhubungan
a. L.S. Vygotsky
L.S. Vygotsky merupakan sarjana dari Rusia. Dia menyatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap awal merupakan sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi, tetapi pada tahap berikutnya keduanya berhubungan yaitu bekerja sama dan saling mempengaruhi. Untuk mengkaji bahasa dan pikiran harus melihat aspek luar yaitu aspek bunyi, juga aspek dalam yaitu makna. Baginya, hubungan pikiran dengan bahasa bukan suatu benda tetapi suatu proses, satu gerak yang terus-menerus yang ada pada pikiran ke bahasa dan sebaliknya dari bahasa ke pikiran.
b. Noam Chomsky
Noam Chomsky merupakan pakar Amerika. Ia tidak secara langsung mengemukakan hubungan bahasa dengan pikiran. Ia menyatakan bahwa pandangan tentang bahasa membuka pandangan juga tentang proses mental (pemikiran) manusia.
Seorang anak terlahir sudah memiliki piranti berbahasa. Piranti ini tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seperti yang dinyatakan Lenneberg karena anak yang tolol pun dapat berbahasa. Bahasa dan pikiran merupakan dua sistem yang berasingan atau yang otonom. Bahasa tidak dipelajari anak dan tidak diajarkan, tetapi berkembang dan tumbuh pada diri anak dengan cara yang lebih dahulu ditentukan oleh alam apabila keadaan lingkungan mendukung. Lebih jauh dinyatakan bahwa sistem keuniversalan bahasalah yang menggambarkan keunikan kecerdasan manusia. Bahasa hanya memiliki tingkat luaran yang berbeda, tetapi tingkat dalamannya sama. Keduanya bekerja sama untuk digunakan dalam komunikasi.

3. Relativitas Bahasa
Relativitas bahasa (Linguistic relativity) merupakan konsep hipotesa bahasa yang dikemukakan oleh Benjamin Lee Whorf (1956) yang mengatakan “ A person’s native language defines the way he perceives and interprets his world”. Hipotesa ini mengemukakan adanya kemungkinan –kemungkinan pengaruh bahasa ibu menginterprestasikan budaya orang lain khususnya dalamnorma –norma budaya, kepercayaan dan nilai –nilai.Dengan kata lain dalam suatu budaya, bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan bagaimana masyarakat pada budaya tertentu merasa (perceive) dan memahami (understand) dunia sekitarnya dan dunia luar. Sedangkan relativitas budaya (culture relativity) merupakan sebuah konsep budaya –budaya orang lain diperlukan juga penilaian yang lebih luas tentang budaya kita sendiri.
Dari pernyataan diatas dapat dilihat adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara bahasa dan budaya.Kajian tentang lintas budaya (cross culture) seperti ini dibutuhkan untuk menemukan adanya kesemestaan budaya dan kesemestaan bahasa (culture universals) dan (language universals) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain.Anthropolog George Peter Murdock (1945) mengidentifikasikan lebih dari enam puluh (60) kesemestaan budaya yang meliputi:
1.Perkawinan
2.Perhiasan –perhiasan tubuh
3.Tari –tarian
4.Mitos
5.Legenda
6.Masakan
7.Kata –kata kotor
8.Peraturan –peraturan harta warisan
9.Upacara keagamaan
10.Adat istiadat
11.Sistem sapaan
12.Sistem keakraban dan lain –lain
Adanya pepatah bahasa Melayu yang berbunyi “bahasa menunjukkan bangsa”. Maksudnya antara lain ialah bahwa ada kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu sering mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa, atau tingginya martabat seseorang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan sesuatu bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis, kiranya tak dapat dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi perbendaharaan kata dan idion jelas mencerminkan ide dan pengalaman -pengalaman yang pernah dan sering dihayati oleh suatu bangsa. Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa sehubungan dengan sikap –sikapnya terhadap berbagai peristiwa dan situasi bicara. Dialek mencerminkan kelompok –kelompok masyarakat yang membentuk bangsa itu. Tingkat tutur mencerminkan adat sopan santun sehubungan dengan berbagai status sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakat, sehingga dalam makalah ini dapat dilihat hubungan timbale balik antara relativitas bahasa dan relativitas budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain.Relativitas bahasa adalah topic tua yang tetap menarik. Hampir seabad yang lalu, Sapir (1921) membahas kaitan tak langsung antara bahasa dan budaya , serta kekhasan struktur bahasa yang sangat menentukan bentuk sastra, terutama puisi. Era Bloomfieldian di Amerika juga dipengaruhi oleh relativitas bahasa, seperti dinyatakan oleh Joos (1957 –1996)”Language could differ from each other without limit and in unpredictable ways”.Relativitas bahasa yang merupakan postulat dalam linguistic murni, mendorong lainnya analisist Kontrastif terapaan kerya pembukaan yang dipelopori oleh Fries 1945) dan lando (L1957).Sejak pertengahan dasa warsa 1960an, ketika posisi generative menjadi semakin dominan, relativitas bahasa terpinggirkan diriku oleh (Universalitas kesemestaan)bahasa. “ Chomsky (1965), bukan hanyamenawarkan substantive universals, tetapi juga formal universal yang pertama merujuk pada unit bahasa yang berikan universal, misalnya kaidah informasi dan prinsip ketergantungan struktur (struktur –dependent –principle). Kemudian, bersamaan dengan timbulnya ambisi untuk menjelaskan hakekat universal jauh. Mereka Sambisi universal semakin jauh. Mereka asyik dengan I;Language (bahsa sebagai relitas mudah), sehingga mengabaikan E –Language (bahasa sebagai realyijas social. Dalam paradigm chomskyan. Universalitas (kesemestaan) bahasa dibatasi oleh pustulaus “Language is mirrow of the mind”.




4. Hipotesis tentang Bahasa dan Pikiran
Hipotesis tentang Linguistic relativity ditolak oleh banyak linguistikawan dan peneliti dalam pengetahuan kognitif. Respon yang sangat khas adalah untuk member ketegaasan tentang kesalahan dalam menghadapi identifikasi pikiran dan bahasa.Dua argument yang penting yang dapat mendukung penolakan tersebut :
1.      Ada bukti bahwa orang bisa berfikir tanpa bahasa
2.      Analistis linguistic memperlihatkan kepada kita bahwa bahasa punya kekurangan dalam melakukan spesifikasi makna
4.5. Bukti Berfikir tanpa Bahasa
Contoh yang diberikan oleh Pinker (1995), seperti dikutip oleh Saeed (2003:43) sebagai berikut :
i.                    Para seniman dan ilmuwan menyatakan bahwa kadangkala karyanya muncul dari ide dari bayangan nonlinguistic
ii.                  Anak balita yang belum mengenal bahasa dapat melaksanakan perintah bahasa seperti “ambil mainan itu!”.
5. Keterbatasan Bahasa melakukan Spesifikasi
Orang dapat mengatakan hal-hal yang belum pernah dikatakan sebelumnya. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk mengerti dan membentuk kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Pada dasarnya setiap kita mengucapkan pasti pernah sama atau berbeda. Contohnya, dengan menguasai angka 0 s.d. 9 orang dapat membuat berbagai jenis penghitungan atau dalam berbahasa Indonesia, dengan menguasai /a/ s.d. /z/ ditambah /ng/, /ny/, /kh/, dan /sy/, seseorang dapat membuat berbagai kalimat.
Kreativitas binatang hanya tertentu tetapi manusia dapat mewujudkan berbagai hal dengan bahasa. Contohnya, lebah hanya berdasarkan sifat ekstern, yaitu tarian. Seekor lebah hanya mengadakan tarian maupun kualitas tarian sebagai produk dari arah, jarak, dan kuantitas madu. Hal ini tentu berbeda dengan manusia. Manusia berhubungan dengan intern dan ekstern. Contohnya, manusia yang lapar (intern) belum tentu secara ekstern ia langsung menyatakan bahwa saya lapar, mungkin hanya diam. Manusia dapat bebas memilih harus berbicara atau tidak, dan dapat memutuskan apa yang akan dikatakan bila memutuskan untuk berbicara.
Tidak semua hal dapat diekspresikan melalui bahasa. Karena pada dasarnya bahasa tidak dapat menggambarkan sesuatu hal secara eksak, melainkan bersifat parsial. Biasanya keterbatasan sangat terasa pengaruhnya ketika kita membicarakan hal-hal yang bersifat relatif dimana setiap orang bisa memiliki persepsi yang berbeda mengenai hal tersebut. Atau dengan kata lain, tidak ada kata-kata yang tepat yang bisa menggambarkan suatu hal dan berlaku untuk semua orang. Misalnya, sifat cantik, pintar, kaya, miskin, dan lain sebagainya.
Saat kita mengatakan kata cantik untuk menggambarkan seseorang di benak kita, belum tentu orang lain memiliki gambaran kata cantik yang sama dengan apa yang kita pikirkan. Sama halnya dengan pintar, tidak ada kata yang bisa mengukur seberapa pintarnya seseorang. Inilah salah satu keterbatasan bahasa dalam konteks komunikasi verbal yang menyebabkan transfer ide dari satu pihak ke pihak lain tidak utuh.
Dalam penggunaan bahasa muncul sebuah bahasa Toki Pona yang hanya mempunyai 123 kata dalam kosakatanya, dalam bahasa ini penggunanya diharuskan membicarakan sesuatu yang sifatnya spesifik dengan frasa, bahasa ini gabungan dari beberapa bahasa.
Dalam berbahasa maka membentuk behaviour, thought, dan perception, dimana masing-masing saling mengikat dan membentuk sebuah budaya.
Bahasa di katakan membentuk behaviour karena dengan bahasa manusia menyifatinya dengan sifat general, sebagai contoh orang yang menggunakan bahasa inggris saat menolak ajakan makan siang maka cukup dikatakan “TIDAK”, tetapi orang yang menggunakan bahasa Indonesia cenderung membuat alasan semisal “aduh saya harus mengerjakan ini atau itu”.
Bahasa dikatakan membentuk thought contohnya saat ada gambar yang muncul yang merupakan sebuah proses dari pohon, maka orang yang menggunakan alfabet akan memulai proses dari kiri ke kanan, berbeda dengan orang-orang yang terbiasa menggunakan huruf-huruf hijaiyah atau huruf arab maka meraka akan melihat proses tersebut dari kanan ke kiri.
Bahasa dikatakan membentuk perception diantaranya : saat kita mengatakan matahari dan bulan dengan bahasa German dan Spanish, maka orang yang berbahasa German cenderung memberikan persepsi maskulin untuk matahari dna feminin untuk Bulan. Tetapi dalam bahasa Spanyol, Matahari di katakan dalam bentuk feminin dan bulan dalam bentuk maskulin, sehingga jika kita mengatakan sebuah kata benda kepada orang German dan Spanish maka akan ada perbedaan persepsi yang muncul.
Ada bahasa yang tidak bisa mengekspresikan kanan dan kiri, yaitu bahasa orang “Kuuk tha yorre” orang-orang aboriginal Australia, dimana “arah” dan segala yang berhubungan dengan nya di katakan dengan, North, east, south, west dan penggabungannya.
Berdasarkan pemaparan diatas maka terdapat keterbatasan dalam masing-masing bahasa saat mengatakan yang spesifik sehingga bahasa dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang hidup dan terus berkembang membentuk kebudayaan untuk mengisi kekosongan spesifik yang di perlukan. 

6. Bahasa berfikir
Kata-kata adalah bentuk pemberian pakaian pada realita factual yang terjadi secara nyata.Pemberian inidipengaruhi oleh factor subjektifitas kebudayaan dan individu. Subjektifitas ini terlihat ketika manusia darilatar belakang yang berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikan kedalam kategori yang samasekali lagi berbeda berdasarkan prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris, misalnya table ( meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam pikiran orangInggris menyatakan bahwa kedua benda tersebutesensinya merupakan satu dan sama karena melayani fungsi yang sama.
Orang non Indo-Eropa tidaklah memotong realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada bentuk dasarnya : bundar, persegi, padat,atau cair. Bagi orang non Indo-Eropa kriteria tentang bentukdan rupa adalah pasti, dalam menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori iniatau kategori lain. Di mata masyarakat ini, meja bundar dan meja persegi adalah dua benda yang sama sekali berbeda sehingga harus ditunjukkan dengan nama yang berbeda pula.








BAB III
KESIMPULAN

Bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variable berupa domain-domainkognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Misalnya ada temuan hubungan yang signifikan antara kemampuan mengklasifikasikan ( classificatory ability) dan pemahaman makna kata ( word meaning) pada individu yang memiliki gangguan bahasa atau individu yang menderita skizofren.Wacana yang dilontarkan oleh Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut.
Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada pandangan yang menentangnya. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1. Determinasi bahasa dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensidalam menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2. Proses satu arah tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga sebaliknya.
3. Studi komparasi antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Albrecht,K .1986. Brain Power. London Willey & Sons
Forrester, M.A., 1996. Psycology of Language: A Critical Introduction. London: Sage Publicatio
Gleitman,L&Papafragou, A.2000. Language and thought. To appear in K.Holoyoak and B. Morisson (eds), Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning.Cambridge University.
Jaszczolt,K.2000. Language and Thought. www.cam.ac.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar